(فَصْلٌ) تَبْطُلُ الّصَلاَةُ بِأَرْبَعَ عَشَرَةَ خُصْلَةً : بِالْحَدَثِ وَبِوُقُوْعِ الّنَجَاسَةِ إِنْ لَمْ تُلْقَ حَالًا مِنْ غَيْرِ حَمْلٍ ، وَانْكِشَافِ الْعَوْرَةِ إِنْ لَمْ تُسْتَرْ حَالًا، وَالّنُطْقِ بِحَرْفَيْنِ أَوْ بِحَرْفٍ مُفْهِمٍ عَمْدًا ، وَبِالْمُفْطِرِ عَمْدًا ، وَالْأَكْلِ الْكَثِيْرِ نَاسِيًا ،وَثَلَاثِ حَرَكَاتٍ مُتَوَالِيَاتٍ وَلَوْ سَهْوًا وَالْوَثْبَةِ الْفَاحِشَةِ وَالّضَرْبَةِ الْمُفْرِطَةِ ، وَزِيَادَةِ رُكْنٍ فِعْلِيِّ عَمْدًا ، وَالّتَقَدُّمِ عَلَى إِمَامِهِ بِرُكْنَيْنِ فِعْلِيَّيْنِ ، وَالّتَخَلُفِ بِهِمَا بِغَيْرِ عُذْرٍ ، وَنِيَةِ قَطْعِ الّصَلاَةِ ، وَتَعْلِيْقِ قَطْعِهَا بِشَيْءٍ وَالّتَرَدُّدِ فِي قَطْعِهَا .
Perkara Yang Boleh Membuat shalat Kami Batal ... Apa-apa?
MAKANAN TEMA DINAMAKAN?
Soalan.
Sila berbincang perkara yang membatalkan shalat. Sebagai contoh, setelah melakukan wudhu dan minum teh manis, maka bershalat? Adakah ini dibenarkan? Jazakallah khairan. Abu Fikhar T 0812820 ****
Jawapannya.
Perkara-perkara yang membatalkan shalat adalah:
1. Adakah anda pasti anda mempunyai (wudhu)? Keterangan:
عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ عَنْ عَمِّهِ أَنَّهُ شَكَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلُ الَّذِي يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ لَا يَنْفَتِلْ أَوْ لَا يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Dari ‘Abbad bin Tamim, dari pamannya, bahwa seorang laki-laki mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa dia mendapati sesuatu di dalam shalat. Maka Beliau menjawab: “Janganlah dia berpaling sehingga mendengar suara atau mendapati bau.” [HR Bukhari, no. 137; Muslim, no. 361; dan lain-lain].
2. Meninggalkan sutu rukun dari rukun shalat(seperti: ruku ', sujud, tuma'ninah, dsb.) Atau salah satu syarat syarat shalat (seperti wudhu, menutupi alat kelamin, menghadap kiblat, dll.) sengaja tanpa udzur (halangan / alasan).
Pembatalan shalat yang disebabkan oleh meninggalkan tiang doa didasarkan pada perintah Rasulullah Shallallahu 'alayhi wa sallam kepada seseorang yang melakukan sembahyang dengan buruk untuk mengulangi shalatnya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ السَّلَامَ فَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk masjid, lalu seorang laki-laki masuk masjid kemudian dia melakukan shalat. Lalu dia datang, kemudian mengucapkan salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab salamnya, kemudian bersabda: “Kembalilah, lalu shalatlah, sesungguhnya engkau belum shalat!” [HR Bukhari, no. 793; Muslim, no. 397; dan lain-lain]
Dalil batalnya shalat yang disebabkan karena meninggalkan syarat shalat, yaitu hadits:
عَنْ خَالِدٍ عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلًا يُصَلِّي وَفِي ظَهْرِ قَدَمِهِ لُمْعَةٌ قَدْرُ الدِّرْهَمِ لَمْ يُصِبْهَا الْمَاءُ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُعِيدَ الْوُضُوءَ وَالصَّلَاةَ
Dari Khalid, dari sebagian sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki sedang melakukan shalat, sedangkan pada luar telapak kakinya terdapat bagian kering seukuran uang dirham yang tidak terkena air (wudhu’), maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mengulangi wudhu dan shalatnya. [HR Abu Dawud, no. 175; Ibnu Majah, no. 399; ].
3. Makan atau minum dengan sengaja.
Ibnul Mundzir t berkata: “Ulama (telah) sepakat, barangsiapa makan atau minum di dalam shalat fardhu (wajib) dengan sengaja, dia wajib mengulangi (shalat).” (Al Ijma’, 40). Demikian juga di dalam shalat tathawwu’ (sunah) menurut mayoritas ulama, karena yang membatalkan (shalat) fardhu juga membatalkan (shalat) tathawwu’.
4. Sengaja berbicara bukan karena mashlahat shalat.
عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ قَالَ كُنَّا نَتَكَلَّمُ فِي الصَّلَاةِ يُكَلِّمُ الرَّجُلُ صَاحِبَهُ وَهُوَ إِلَى جَنْبِهِ فِي الصَّلَاةِ حَتَّى نَزَلَتْ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ فَأُمِرْنَا بِالسُّكُوتِ (وَنُهِينَا عَنْ الْكَلَامِ )
Dari Zaid bin Arqam, dia berkata: “Dahulu kami berbicara di dalam shalat. Seseorang berbicara kepada kawannya yang ada di sampingnya di dalam shalat, sehingga turun (ayat, Red): ‘Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’ (Al Baqarah:238, Red). (Kemudian kami diperintahkan diam dan dilarang berbicara).” [HR Bukhari, no. 1.200; Nasa’i (3/18); tambahan dalam kurung riwayat Muslim, no. 539; Tirmidzi, no. 4003; Abu Dawud, no. 936].
Asy Syaukani rahimahullah (kemudian diikuti oleh Shiddiq Hasan Khan rahimahullah) berkata: “Tidak ada perselisihan di antara ulama, bahwa orang yang berbicara secara sengaja dan dia mengetahui (hukumnya), maka orang ini shalatnya batal. Yang menjadi perselisihan, hanyalah tentang berbicaranya orang yang lupa dan orang yang tidak mengetahui bahwa itu larangan. Mengenai orang yang tidak tahu, maka dia tidak mengulangi shalat (dengan kata lain shalatnya sah, Red) (berdasarkan) zhahir hadits Mu’awiyah bin Al Hakam As Sulami yang sah dalam kitab shahih … Sedangkan orang yang lalai dan orang yang lupa, maka zhahirnya tidak ada perbedaan antara dia dengan orang yang sengaja dan tahu dalam hal batalnya shalat.” [1]
5. Tertawa dengan bersuara.
Ibnul Mundhir memperlihatkan perjanjian para ulama mengenai pembatalan shalat yang disebabkan oleh ketawa. (Al Ijma ', 40). Abu Malik Kamal bin As Sayyid Salim berkata: "... kerana ketawa lebih buruk daripada bercakap, kerana ia disertai dengan merendahkan dan toying dengan shalat. Dan ada beberapa narasi dari kawan-kawan yang menunjukkan pembatalan shalat yang disebabkan oleh ketawa. "[2]
6. Lewatnya wanita dewasa, keledai, atau anjing hitam, di hadapan orang yang shalat pada tempat sujudnya.
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلَاتَهُ الْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ وَالْكَلْبُ الْأَسْوَدُ قُلْتُ يَا أَبَا ذَرٍّ مَا بَالُ الْكَلْبِ الْأَسْوَدِ مِنْ الْكَلْبِ الْأَحْمَرِ مِنْ الْكَلْبِ الْأَصْفَرِ قَالَ يَا ابْنَ أَخِي سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا سَأَلْتَنِي فَقَالَ الْكَلْبُ الْأَسْوَدُ شَيْطَانٌ
Dari Abu Dzarr, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika seseorang di antara kamu berdiri shalat, jika di hadapannya ada semisal kayu sandaran pada pelana unta, [3] maka itu akan menutupinya. Jika di hadapannya tidak ada semisal kayu sandaran pada pelana unta, maka sesungguhnya shalatnya akan dibatalkan oleh (lewatnya) keledai, wanita dewasa, atau anjing hitam.” Aku (Abdullah bin Ash Shamit, perawi sebelum Abu Dzarr) bertanya: “Wahai, Abu Dzarr, apa masalahnya anjing hitam dari anjing merah dan anjing kuning?” Abu Dzarr menjawab: “Wahai, anak saudaraku. Aku telah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana engkau bertanya kepadaku, lalu Beliau menjawab ‘anjing hitam adalah syetan’.” [HR Muslim, no. 510; Nasa’i (1/2/63); Tirmidzi, no. 337; Abu Dawud, no. 688].
dalam masalah ini, memang ada pertikaian. Sesetengah ulama berhujah bahawa solat dibatalkan, sesetengah yang lain berfikir nilai shalat dikurangkan, sesetengah yang lain berpendapat bahawa hadith ini telah menjadi mansukh, seperti yang dijelaskan oleh An Nawawi dalam shari'ah (penjelasan) hadith ini.
Tetapi yang paling kuat, adalah pendapat pertama, berdasarkan zhahir hadith ini. Adalah pendapat Shaykh Al Albani seperti sifat Salat Nabi, ms. 85, nota kaki, tidak. 1 [Al Ma'arif Maktabah Penerbit]
Ini adalah enam kes yang membatalkan doa seperti yang disebutkan oleh Shaykh Abdul 'Azhim bin Badawi [4].
Di samping itu, terdapat satu lagi kes yang disebut oleh beberapa ulama yang termasuk membatalkan solat, iaitu untuk menduduki diri dengan tindakan yang tidak termasuk doa.
Asy Syaukani rahimahullah berkata: "Berhubung dengan pembatalan shalat kerana mempraktikkan diri dengan tindakan yang bukan sebahagian dari solat, adalah dengan syarat tindakan itu menyebabkan orang yang bershalat dari keadaan shalat. Seperti orang yang sibuk dengan jahitan, melakukan kerja tukang kayu, berjalan banyak, mencari panjang, atau sesuatu seperti itu. "[5]
Penulis kitab Manarus Sabil, Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad bin Dhauyan rahimahullah, ketika menjelaskan perkara-perkara yang membatalkan shalat, (di antaranya) beliau menyatakan: “Berbuat (bergerak) banyak menurut kebiasaan, bukan perbuatan yang termasuk jenis (perbuatan) shalat, tanpa darurat. Seperti berjalan, garuk-garuk, istirahat. Jika perbuatan itu banyak, berturut-turut, (maka) hal itu, menurut Ijma’ membatalkan shalat. Itu dikatakan di dalam kitab Al Kafi. Dia juga mengatakan: “Jika perbuatan itu sedikit, tidak membatalkannya.” [6].
Syaikh Abdurrahman As Sa’di rahimahullah, ketika menjelaskan perkara-perkara yang membatalkan shalat, antara lain beliau menyebutkan: “Dan dengan gerakan yang banyak secara berturut-turut tanpa darurat.” [7]
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah menjelaskan perkara-perkara yang membatalkan shalat, antara lain beliau menyebutkan: “(Perbuatan) sia-sia yang banyak, yang berturut-turut di dalam shalat. [8]
Imam Shidiq Hasan Khan rahimahullah berkata: “Mereka (ulama) bersepakat bahwa perbuatan (gerakan) yang sedikit tidak membatalkan shalat.” [9]
Tetapi, dalam masalah ini, para ulama berbeda pendapat tentang ukuran perbuatan (gerakan) yang bisa membatalkan shalat.
Imam Shidiq Hasan Khan rahimahullah menjelaskan masalah ini dengan mengatakan: "Apa yang saya lihat sebagai cara untuk mengetahui banyak tindakan (yang membatalkan shalat), biarkan mereka yang membicarakan ini memperhatikan tindakan yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam shalat), seperti memegang Umamah binti Abil 'Ash (cucu Rasulullah, Merah), ia naik dan turun mimbar dalam shalat, dan seperti itu terjadi kepada Nabi Shallallahu' alaihi wa sallam agar tidak menunaikan solat. Kemudian orang-orang yang memberi perhatian kepada ini (biarkan, Merah) menghukum dia tidak banyak. Begitu juga apa yang berlaku untuk memperbaiki sembahyang. Sebagai contoh, semasa dia melepaskan sandalnya, izinnya untuk membunuh ular dan sebagainya, patut dihukum kerana tidak banyak. [10]
Mengenai apa yang telah anda sebutkan, yang minum teh manis selepas wudoo ', maka itu tidak termasuk kes yang membatalkan wudhu'. Tetapi jika seseorang bershalat maka dia minum teh atau minuman lain, sudah tentu ia membatalkan shalat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Lihat Ad Dararil Mudhiyyah, hlm. 68; Ta’liqat Radhiyah ‘Ala Raudhah Nadiyah, 1/304-306.
[2] Shahih Fiqhis Sunnah (1/363).
[3]. Kayu ini tingginya sekitar sehasta
[4]. Lihat kitab Al Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil Aziz, hlm. 109-110, Penerbit Dar Ibni Rajab, Cet. 3, Th. 1421H/2001M.
[5]. Lihat Ad Dararil Mudhiyyah, hlm. 68; Ta’liqat Radhiyah ‘Ala Raudhah Nadiyah (1/304-306).
[6]. Manarus Sabil (1/109), Penerbit Jum’iyah Ihyait Turats Al Islami.
[7]. Manhajus Salikin, hlm. 72.
[8]. Durusul Muhimmah Li ‘Ammatil Ummah, Bab Mubtilat Ash Shalat (Perkara-perkara yang membatalkan shalat).
[9]. Ta’liqat Radhiyah ‘Ala Raudhah Nadiyah (1/309).
[10]. Ta’liqat Radhiyah ‘Ala Raudhah Nadiyah (1/307).